BAB YANG HILANG, “Bapak Kos Tionghoa" Pendukung Sumpah Pemuda
Ada satu nama yang sangat asing dan bahkan kabur dari
catatan sejarah sumpah pemuda Indonesia. Sebuah sejarah tentang andil pemuda
yang strategis dalam memperjuangkan kemerdekaan. Ada sakah seorang sosok yang
hilang dari catatan sejarah kemerdekaan ini, satu nama dari keturunan Tionghoa
yang menjadi “bapak kos” sejumlah pemuda pejuang kemerdekaan di negara ini.
SIE Kok Liong. Itulah nama seorang pemilik kos yang
beralamatkan di jalan Kramat Raya 106, Jakarta Pusat. Dimana Muhammad Yamin,
A.K. Gani, Aboe Hanifah, Muhammad Tamzil, Amir Sjarifuddin, atau Assaat dt
Moeda pernah tinggal. Tentu akan menjadi pertanyaan, kenapa sosok ini penting
untuk di bahas dan layak dianggap berjasa dalam mendukung gerakan kemerdekaan
Indonesia?.
Perlu di ketahui, masa itu Hindia Belanda di pimpin
oleh Gubernur Jenderal H.J. de Graff. Ia adalah seorang gubernur Hindia Belanda
yang menjalankan politik tangan besi. Tentu diperlukan keberanian luar biasa
dari seorang yang berlatar belakang tionghoa untuk menyediakan tempat
berkumpulnya kelompok pergerakan muda dalam mengagas dan mendiskusikan
kemerdekaan Indonesia.
Rumah yang
terletak di Kramat 106 seluas 460 meter persegi ini dikontrak karena rumah
kontrak sebelumnya di kwitang terlalu sempit untuk menampung kegiatan diskusi
politik dan latihan seni jawa. Sehingga tempat ini merupakan tempat tinggalnya
para pelajar yang tergabung dalam Jong Java sejak 1925. Anggota Jong Java dan
mahasiswa lainnya menyebut gedung ini sebagai Langen Siswo. Rumah yang pernah
di jadikan sebagai tempat mengumandangkan ikrar sumpah pemuda pada tanggal 28
Oktober 1928 kini di sulap menjadi museum Sumpah Pemuda.
Awalnya, banyak
yang tidak mengetahui siapa pemilik rumah yang telah disulap menjadi museum
ini. Bahkan Eddie
Kusuma, seorang aktivis masyarakat Tionghoa yang telah banyak melahap banyak
buku tentang sumpah pemuda, juga pernah gagal menggali profil pemilik rumah
tersebut. Sedikit informasi yang dia dapat, ternyata pemiliknya adalah
seorang tionghoa penganut konghucu.
Beberapa tahun
yang lalu, Edhie juga pernah menelusuri jejak Sie Kok Liong dengan mencari
keturunannya. Dari beberapa warga yang berusia lanjut di seputaran kramat
sentiong serta kwitang, Jakarta Pusat, di dapat informasi bahwa Sie Kok Liong
diduga tinggal di kramat sentiong, dan ada kabar pula bahwa Sie Kok Liong pada
akhirnya memeluk Islam dan namanya berubah menjadi Muhammad Cia pada 1960-an.
Adapun nama Cia itu bisa merujuk pada nama marga Sie. Edhie pun mendapat kabar
bahwa Kok Liong telah meninggal pada
1971. Namun saat itu tidak ada yang tahu dimana pemakaman dan keluarganya.
Lebih jauh, Tempo pun mencoba menelusuri rekam jejak
Sie Kok Liong ke kelurahan, warga sekitar kramat sentiong dan kwitang, internet
seperti mailing list Tionghoa-Net, komunitas-komunitas, bahkan menghubungi
Friends of the Kong Koan Archives, yang bermarkas di Belanda, sebuah yayasan
yang mengumpulkan literatur dan meneliti budaya Tionghoa di Jakarta pada abad
ke-18, 19, dan 20. Namun lembaga arsip ini juga tidak memiliki informasi
tentang Sie Kok Liong.
Seorang sosok bapak kos para pemuda pejuang bangsa ini
seakan hilang di telan masa. Didalam Museum Sumpah pemuda yang terdapat
berbagai replika barang barang yang digunakan para pemuda seperti meja, kursi,
hingga replika tokoh-tokoh dalam sumpah pemuda, namun disana kita tidak
mendapatkan replika sosok Sie Kok Liong.
Dalam perjalanannya, penghuni rumah Sie Kok Liong ini
pun berganti-ganti. Pada tahun 1934, kegiatan pemuda di alihkan ke jalan kramat
156, setelah para penghuni Kramat 106 tidak melanjutkan sewanya. pada tahun
1937–1951 gedung ini disewakan kepada Tjem Jam sebagai tempat tinggal. Setelah
itu disewakan lagi oleh Loh Jing Tjoe sebagai toko bunga dan hotel. Kemudian
pada tahun 1951-1970 disewa oleh Inspektorat Bea dan Cuka untuk perkantoran
pada 1951-1970. Barulah setelah itu ditetapkan sebagai cagar budaya yang hingga
kini dikenal sebagai Museum Sumpah Pemuda.
Sie Kok Liong salah seorang “bapak kos” berketurunan
Tionghoa ini memang tidak memiliki peran langsung dalam perumusan Sumpah
Pemuda. Tetapi disisi lain, selayaknya kita sebagai penikmat kemerdekaan
Indonesia harus mengapresiasi keberanian luar biasa sosok Sie Kok Liong. Ia
berani menyewakan rumah nya kepada para pejuang muda indonesia kala itu untuk
menggagas dan mendiskusikan kemerdekaan. Suatu kegiatan yang beresiko dimasa
kolonial Belanda, tidak hanya terhadap para pejuang muda tersebut, namun juga
bisa jadi mengancam pemilik kos-kosan Tionghoa ini. Maka tidak lah berlebihan
jika sejarawan Asvi Warman Adam mengatakan bahwa Sie Kok Liong pantas
dimasukkan sebagai orang yang berjasa dalam Sumpah Pemuda.
Recent Comments Widget